Bahasa Kanton Telah Membawa Miskeli Meraih Sukses di Hongkong
Menjadi seorang tenaga kerja wanita (TKW) bukanlah cita-cita utama
bagi sejumlah pekerja migran asal Indonesia yang kini bekerja di
Hongkong. Umumnya tidak membayangkan jika mereka akhirnya mengadu nasib
sebagai seorang TKW yang kerap disebut pahlawan devisa.
Salah seorang TKW Indonesia asal Sulawesi Utara (Sulut), Miskeli
(48), menuturkan, dirinya tidak menyangka akan menjadi seorang TKW di
Hongkong. Hal itu di luar perencanaan. Namun seiring berjalannya waktu,
lulusan Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) ini mensyukuri mendapat
kesempatan bekerja di Hongkong.
Ketertarikannya menjadi pekerja migran berawal dari cerita sukses
sejumlah teman sekampungnya di Romoong Atas, Kabupaten Minahasa Selatan,
Sulawesi Utara, yang pernah bekerja di luar negeri. Mereka kembali ke
kampung dengan sederet cerita sukses, membangun rumah, tempat usaha, dan
menyekolahkan keluarga mereka.
Tahun ini adalah tahun ke-15 bagi Miskeli bekerja di Hongkong. Pada
tahun pertama, dia sempat berniat kembali ke Indonesia karena merasa
tidak mampu beradaptasi dengan ritme kerja dan berkomunikasi dengan
bahasa Kanton.
“Tahun pertama adalah masa kritis. Saya belum bisa beradaptasi di
tempat kerja dan berkomunikasi dengan bahasa Kanton. Ditambah lagi
dengan beban melunasi biaya keberangkatan saya dari Indonesia ke
Hongkong. Pokoknya kritis,” kata Miskeli di Hongkong awal Oktober lalu.
Namun setelah melewati masa kritis, dia akhirnya melupakan
hambatan-hambatan yang ada dan mulai menikmati pekerjaannya. Kontrak
pertamanya selama dua tahun berhasil diselesaikan dengan baik. Dengan
bahasa Kanton yang mulai fasih, kontrak kerjanya terus diperpanjang.
Awal September lalu, Miskeli mendatangkan kedua anaknya dan seorang
menantu serta cucunya untuk berlibur ke Hongkong selama dua pekan. “Saya
ingin memperlihatkan kepada mereka kondisi kerja saya di Hongkong apa
adanya.” tegasnya.
Berbeda dengan TKW pada umumnya, Feyke Rorong (39), tidak hanya
bekerja di Hongkong, tetapi juga sempat menekuni studi di sebuah
universitas dengan bantuan studi dari majikannya. Meskipun telah
mengantongi gelar sarjana, dia tetap bekerja sebagai pekerja rumah
tangga.
“Saya masih senang dengan pekerjaan ini, belum berpikir mencari pekerjaan lain,” tuturnya.
Dari hasil kerjanya hampir 20 tahun, Feyke telah membantu keluarganya di kampung dan menyekolahkan saudara-saudaranya. Semuanya dia lakukan demi meningkatkan kesejahteraan keluarganya.
Dibandingkan dengan negara-negara lain, upah TKW di Hongkong
tergolong tinggi yaitu sebesar US$ 4.510 Hongkong dengan uang makan US$
1.075 Hongkong atau sekitar Rp 10.611.000 per bulan. Di Singapura Rp 4
juta, Malaysia Rp 3-4 juta, Taiwan Rp. 6-7 juta, dan di Timur Tengah Rp 5
juta.
Selain menawarkan upah pekerja yang tinggi, konstitusi Hongkong juga
menjamin perlindungan pekerja migran. Dalam sepekan para TKW mendapat
hak libur satu hari, Sabtu atau Minggu. Umumnya mereka akan berkumpul di
sejumlah tempat seperti Victoria Park dan Kowloon Park. Jumlah TKW
Indonesia di Hongkong saat ini mencapai 160.000 dan merupakan jumlah
pekerja migran terbesar.
Miskeli mengatakan, peran lembaga agama seperti persekutuan jemaat di
gereja dan lembaga umat Islam di Hongkong cukup signifikan dalam
mendampingi TKW. Lembaga-lembaga keagamaan ini mampu menyayomi dan
membangun bersama suasana kekeluargaan yang akrab.
“Para pimpinan agama ini tidak hanya menangani pertumbuhan kerohanian
kami, tetapi juga hadir sebagai teman, sahabat, dan keluarga bagi
kami,” tambahnya.
Dirinya berharap agar pemerintah Indonesia memberikan penghargaan
kepada lembaga-lembaga agama yang mendampingi para TKW Indonesia di
Hongkong.
Sumber:beritasatu
Post a Comment