Cerpen: Andai Dia Tahu

Angin berhembus, burung berkicau, daun melambai-lambai, matahari bersinar menyapa.
Cuih, dengan segera kumatikan lagu yang mengalun di benakku, untung aku tidak menyanyikannya, bisa habis aku diledek teman-temanku yang katanya kids jaman now. Ah dasar generasi millennial.
Beberapa murid sudah keluar dari kelasnya untuk melaksanakan upacara rutin, termasuk sebagian kecil dari murid kelasku, selebihnya? Tentu masih ribut di kelas. Seorang temanku menghampiriku, menyerahkan sabuk dan dasi, aku memang cuma modal baju dan otak aja dari rumah.
Aku memaksa otak bersarang laba-labaku untuk berpikir, hmm, topi, topi, topi, oh iya abis ta buat ngelap muka terus ditaruh ember, nah pasti sekarang lagi dicuci nih sama emak.
“Woi ada bawa dasi dua kagaa?” kali ini adam lainnya berteriak untuk seisi kelas, aku berpikir dari hitungan satu sampai ketiga, cukup sebentar untuk memutuskan.
Aku melempar dasi padanya, berikut sabuk yang mengenai kepalanya. “Noh ambil aja deh, gue gak butuh”
Sudah kuputuskan untuk bolos upacara lagi, entah yang keberapa kali. Kuambil headset dan hape nyaris jadul dari tas lalu beranjak ke kamar mandi. Kenapa kamar mandi? Karena cuma tempat itu yang nggak diperiksa pak BP resek, sebenarnya toilet ini juga punya banyak kisah mistis, mungkin itu juga yang membuatnya tidak terjamah pak BP, dasar cemen.
Agak sulit untuk menerjang arus murid yang berlomba-lomba untuk ke lapangan, padahal ayolah, apasih enaknya upacara, pengecualian untuk upacara hari pahlawan yang ada part “menyanyikan lagu nasional”. Aku akan dengan lantangnya (tentunya juga ga pake malu-malu) ikut bernyanyi Bangun Pemudi-pemuda, atau dari Sabang sampai Merauke, Maju Tak Gentar juga hayo kujabanin, semuanya untukmu Indonesia. Masalah suara? Jangan ditanya, gini-gini aku juga pernah ikut audisi paduan suara, dan tentunya ditolak.
Sempat aku mampir ke kantin, mengambil 2 buah gorengan, lumayan buat perbekalan selama di toilet. Eh jangan pikir aku akan buang hajat sambil makan ya, euuh banget. Tentunya nanti di toilet aku hanya duduk-duduk di lorong antar bilik. Mungkin kalau keadaan memaksa (contoh, tiba-tiba Pak BP -dengan tampang sok-sok berani padahal astaga pingin ngacir aja- masuk ke toilet).
Kami berpandang-pandangan, rasanya kalau ada laler lewat pasti suaranya memekakkan telinga banget.
Andai dia tahu?
Sayup-sayup aku mendengar dirinya menyayikan lagu yang sering disetel oomku, sedangkan aku masih mengawasinya dengan mata nyalang. Satu saja gerakan mencurigakan, aku akan memastikannya menyesal pernah bertemu deganku, tapi jujur aku sangat gugup.
Satu lagi keanehannya, kalimatnya terlalu baku, ayolah kita kan nggak lagi suting film Dilan 1990. Kira-kira apa aku perlu juga untuk memanggilnya Dilan? Lalu dia dengan romantisnya mengatakan “Sekarang aku belum mencintaimu, tidak tahu lagi kalau nanti sore” lalu tiba-tiba dia menghadiahi aku TTS yang sudah diisi, aduh kok kalau aku yang ngomong jadi nggak banget ya.
“Namanya juga k-13”
Dia tertawa keras-keras, aku nyaris lompat saking kagetnya.
“Kenalkan, aku Haryanto” dia mengulurkan tangannya padaku, sejujurnya darahku kembali berdesir ketika mendengar namanya yang ya ampun jadul banget, tapi aku memaksakan diri untuk membalas jabat tangannya.
“Kinan” kalian boleh tertawa, nama feminim ini emang nggak matching banget sama penampilanku yang nggak kalah dengan preman sekolah.
“Ooh” aku mengangguk-angguk sambil melihat sekeliling, ternyata begini ya suasana tahun 90-an, toiletnya sih nggak jauh beda, malah lebih creepy waktu jamanku, mungkin karena ini baru dibangun kali ya?
1 detik
2 detik
3 detik
“Whaatt thee hellll”
Post a Comment