Sebuah Rumah di Bawah Jembatan
Hari itu hujan deras mengguyur kota, membawa udara dingin dan menggugah rasa malas untuk berangkat sekolah. Langit masih kelabu dan jam dinding menunjukkan pukul tujuh pagi, biasanya lonceng upacara akan berbunyi dan anak-anak dengan enggan berbaris di halaman sekolah sesuai dengan kelas mereka. Hari ini, separuh kelas saja belum ada, halaman sekolah kosong, parkiran sekolah juga terlihat renggang. Mungkin anak-anak masih asik bermain di dunia mimpi, membalut tubuh mereka dengan selimut tebal agar tetap hangat. Tapi aku tidak, bosan jika harus berada di rumah tanpa teman aku lebih senang datang ke sekolah, menghabiskan waktu dengan teman-temanku lebih menyenangkan daripada harus diam dan dipaksa jadi anak patuh. Pukul 07.15 kelasku tak kunjung bertambah isinya, aku berdiri di balkon kelas menatap halaman sembari memperhatikan setiap anak yang melewati gerbang.
Sudut mataku menangkap sosok anak laki-laki yang berjalan melewati gerbang, berbeda dengan anak lainnya dia mengenakan kaos cokelat polos dan celana pendek berwarna hitam. Tasnya menggantung di salah satu sisi pundak sementara tangannya menenteng sepasang sepatu usang kebesaran, ia berjalan menerobos hujan tanpa payung dan tanpa alas kaki. Buru-buru aku masuk ka dalam kelas mengambil payung dan segera turun. Persis di anak tangga terakhir aku tersenyum yang dibalas senyum olehnya.
“Kamu telat,” ucapnya
“Eh engga, aku berangkat pagi kok,” jawabku tak terima. Jelas-jelas dia yang datang terlambat.
“Telat bawain payung maksudnya,” Aku tersenyum simpul, sambil mengucap
maaf dengan suara lirih. Dengan sigap dia mengeluarkan seragam putih
abu-abunya dan berlari menuju kamar mandi meninggalkan aku dan ranselnya
yang sudah berlubang dimana-mana.
“Alif? Habis ini mau kemana?” tanyaku basa-basi. Tentu saja aku sudah tau jawabannya.
“Biasa, Ra,”
Benar saja, jawabannya akan selalu sama. Meskipun ia tak pernah
menjelaskan tepatnya dia mau kemana hampir semua anak sekolah tahu kalau
dia adalah tukang parkir di Kota Tua. Bukan sekali dua kali dia jadi
bahan olok-olok anak laki-laki atau jadi bahan gunjingan anak perempuan
di kelas. Tapi, dia tetap bertahan hampir tiga tahun mendapat perlakuan
yang tidak menyenangkan. Apa salahnya jadi tukang parkir kalau dia bisa
sekolah dengan uangnya sendiri, tidak masalah bukan?
“Aku ikut ya?” tanyaku antusias. Tentu saja jawaban selanjutnya bisa kalian tebak.
“Jangan Ra, nanti seragam kamu kotor,” Jawaban yang sama lagi.
Berkali-kali aku meminta ikut dengannya berklali-kali juga dia akan
membeikan jawaban yang sama persis. Aku memasang wajah cemberut,
berharap Alif akan mengizinkanku ikut, bukannya anak perempuan suka
begitu? Pura-pura ngambek dan yang dia inginkan akan terkabul. Alif
hanya melirikku sekilas.
“Duluan Ra, jangan lupa belajar minggu depan ujian,” dengan langkah
cepat dan panjang anak laki-laki itu sudah menghilang di belokan. Aku
mendengus, hari ini aku harus pulang naik taksi karena orangtuaku punya
urusan penting yang katanya tidak bisa ditinggalkan.
Pukul lima sore, merasa terlalu jenuh di rumah yang kosong dan bosan dengan suara TV, kuputuskan untuk meraih tas selempangku dan berjalan keluar menunggu taksi. Setelah memeriksa beberapa lembar uang yang dirasa cukup aku segera masuk kedalam mobil dan menyebutkan Kota Tua sebagai tujuanku.
Dari pinggir jalan aku bisa melihat, temanku dengan kaos cokelat tua dan celana pendek hitam tengah mengarahkan mobil yang hendak parkir.
“Teroos, teros! Kanan lagi kanan!”
Begitu lantang suaranya penuh semangat, wajahnya terlihat lelah tapi
tetap tersenyum tulus saat menerima selembar uang lima ribuan dari
pengemudi mobil. Kulihat seorang penjual minuman di dekatku, aku membeli
sebotol air mineral dan berjalan menuju tempat temanku berada. Ya alif
adalah satu-satunya orang yang kuanggap teman, hanya teman saja. Jangan
berharap lebih.
Di pinggir trotoar anak laki-laki itu tengah duduk menghitung beberapa lembar uang yang ia dapat hari ini, tanpa menyadari kehadiranku disampingnya kusodorkan air mineral yang sempat kubeli.
“Nih,” Sontak saja dia langsung menoleh menatapku setengah kaget setengah senang? Mungkin.
“Ara?”
“Alif?” balasku sambil menggoyangkan botol yang tengah kupegang sebagai
tanda. Buru-buru ia menerima air yang kusodorkan sambil mengucapkan
terimakasih.
“Kamu ngapain kesini Ra?”
Bukannya menjawab aku hanya tersenyum sambil mengambil posisi duduk di
sebelahnya. Kulihat wajahnya yang tengah menatapku menunggu jawaban.
Bukan Alif namanya kalau diam saja tanpa menunggu jawaban.
“Aku bosen di rumah gaada temen,” Jawabku jujur. Tapi anak itu tetap
menatapku menyelidik, kentara sekali wajahnya menunjukan raut tidak
percaya.
“Aku jujur Alif,” jawabku sambil tertawa berusaha menyingkirkan wajahnya yang menatapku.
“Kamu kan bisa belajar di rumah Ra, persiapan ujian minggu depan,”
jawabnya sambil meneguk air mineral yang sedari tadi digenggam.
“Kamu sendiri kan bisa belajar Lif, buat Persiapan ujian minggu depan,”
“Saya harus kerja dulu Ra, buat beli buku latihan soal ujian kan nggak murah,”
Aku diam mendengar jawabannya. Buku itu harusnya sudah dimiliki anak-anak kelas 12 sebulan yang lalu. Semua siswa wajib membeli buku latihan ujian, itu peraturannya. Sebenarnya aku sudah membayar lunas buku milikku dan milik Alif tapi ia menolak menerima buku itu.
“Saya akan ganti uang kamu, baru buku itu saya ambil,” katanya.
Membahas masalah uang memang perkara yang tidak mudah mengingat kondisi
ekonomi keluarga Alif dan keluargaku yang jauh berbeda. Kami berdua diam
beberapa saat sampai adzan maghrib berkumandang menyadarkan kami harus
segera pulang.
“Ra? Mau mampir ke rumahku?” Tanya Alif beberapa saat setelah menatapku diam. Sontak saja aku membalas dengan anggukkan semangat. Tiga tahun menjadi teman sebangku aku belum pernah sekalipun mampir ke rumahnya, padahal ia sudah beberapa kali mampir ke rumahku untuk belajar. Selalu jawabannya ‘nanti-nanti’ saja atau ‘kapan-kapan’ setiap kali aku minta mampir ke rumahnya.
Rumah Alif cukup jauh dari Kota Tua, kami berjalan kaki melewati beberapa gang sempit dan beberapa kali menuruni anak tangga. Begitu kami sampai beberapa anak tangga terakhir aku berhenti sejenak. Sebuah pemukiman kumuh dibawah jembatan dengan banyak rumah-rumah terbuat dari papan ataupun anyaman bambu berdiri disini. Berjejer-jejer rumah mereka saling berdempetan satu sama lain. Melihat Alif sudah beberapa meter didepan, aku segera berjalan cepat menyusul.
“Kamu tinggal disini?” tanyaku ragu. Alif hanya melirikku sekilas lalu mengangguk. Di ujung gang, sebuah rumah dengan papan kayu tampak remang-remang, aroma ikan asin yang tengah digoreng menyeruak sampai ke rumah tetangga membuat mereka rebut seat dengan wangi yang enak ini. Dari lubang pintu rumah itu, muncul anak kecil kira-kira usia 4 tahun berambut ikal berlari mengahmpiri Alif dengan semangat.
“ABANG,” begitu teriaknya begitu lantang. Segera dengan semangat Alif menggendong anak itu sembari tertawa.
“Abang, itu siapa?” tunjuk anak itu padaku.
“Itu temen abang dek,” Aku langsung tersenyum dan menyapa
“Halo, nama kakak Ara, nama kamu siapa?”
“Ara,” ucapnya lirih. Sesaat aku bingung kenapa dia malah menyebut namaku, tapi dengan cepat Alif menjelaskan.
“Nama dia juga Ara,” belum sempat menjawab Alif sudah mengucap salam
disambut suara ibunya dari dapur. Kulihat seorang ibu bertapih kain
jarik, dan atasan lusuh keluar dari dalam rumah dan menyambut kedatangan
kami.
“Eh siapa ini? Cantik sekali,” aku tersenyum tipis sambil menyalami orangtua Alif.
“Alif jarang ada temennya, sini masuk nak,” ibu itu menyambutku ramah.
Aku masuk dan memeperhatikan bagian rumah itu, anyaman bambu menjadi
langit-langit rumah itu, beberapa genting berlubang tertembus temaram
cahaya lampu dari luar, lantainya tanah dan perabotannya sangat
sederhana, berbeda jauh dari kondisi rumahku.
“Rumahku emang ga sebagus punya kamu Ra, jangan kaget,” ucap Alif beberapa saat setelah ia pergi ke belakang. Buru-buru aku menggeleng tanda aku tidak kaget. Hanya saja aku merasa bersalah karena Alif tak seberuntung aku atau anak lain.
“Jangan merasa bersalah gitu Ra, biar saya orang miskin saya merasa beruntung dengan kondisi saya,” seolah tahu apa yang aku pikirkan sontak aku memasang senyum terbaikku pada Alif. Tak lama Ibu Alif datang membawa sepiring singkong rebus dan dua gelas teh panas. Aku mengucapkan terimakasih, tapi tampak wajah ibu Alif terlihat ragu-ragu. Aku mencicip teh panas itu, hambar.
“Maaf ya nak, ibu belum bisa buatkan the manis. Gula di rumah habis,”
ucap ibu lirih. Tampak ia sangat kecewa dengan dirinya sendiri.
“Nggak papa ibu, ini juga udah cukup Ara suka kok,” ucapku jujur. Bukan
masalah tentang gula atau rasa yang hambar. Tapi raut wajah alif yang
menatapku dengan ekspresi tak terbaca.
“Ra, maaf saya nggak bisa jadi seperti anak-anak lain yang punya rumah bagus, makanan enak, atau bahkan teh manis,” ucap Alif menatap lurus ke mataku.
Aku tersenyum, kugenggam tangan Alif.
“Bukan menjadi orang kaya syarat bisa berteman denganku, bukan masalah
tehnya manis atau tidak. Bukan rumah gedung bertingkat, dengan banyak
makanan enak Alif. Bahkan rumah di bawah jembatan, singkong rebus, dan
teh tawar bisa membuatku iri dengan hangatnya keluarga kamu. Pertemanan
kita tanpa syarat Alif, itulah yang aku rasakan selama hampir tiga tahun
ini,” ucapku tulus.
Tulus. Itulah pertemanan kami, sama tulusnya dengan senyuman yang Alif berikan padaku malam ini.
Cerpen Karangan: Indar Widia
Sumber : cerpen
Post a Comment