Sederet Modus Jahat yang Mencekik TKI
Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mengungkapkan beberapa
modus yang mencekik para tenaga kerja Indonesia (TKI) atau
pekerja migran Indonesia (PMI). Ironis, mereka yang dijuluki sebagai pahlawan
devisa negara masih menjadi korban oknum pemburu rente.
BP2MI
mengungkapkan beberapa modus yang membebani PMI. Salah satu yang menjadi
kendala bagi PMI adalah biaya penempatan. BP2MI
sering menemukan calon PMI (CPMI) yang terbebani biaya yang sangat besar atau
overcharging.
Sebenarnya ada Peraturan BP2MI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya
Penempatan Pekerja Migran Indonesia. Namun kebijakan itu baru bisa efektif pada
Agustus 2021, molor dari target yang ditetapkan sebelumnya pada 15 Januari
2021.
Lagi pula pembebasan biaya penempatan itu hanya berlaku bagi 10 sektor
yakni pengurus rumah tangga, pengasuh bayi, pengasuh lanjut usia, juru masak,
sopir keluarga, perawat taman, pengasuh anak, petugas kebersihan, petugas
landing atau perkebunan, dan awak lapal perikanan migran.
Nah untuk di luar kriteria pekerja itu, pemerintah membantu dengan
memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diberikan maksimal Rp 25 juta. Pada
dasarnya tujuan utama KUR untuk PMI sendiri adalah untuk meringankan biaya
kepada calon PMI (CPMI). Sebab PMI dibebani biaya
penempatan yang tidak sedikit.
"Kalau kita lihat bahwa selama beberapa tahun terakhir banyak kendala objektif di lapangan. Banyak para peserta KUR dari CPMI terbebani biaya yang sangat luar biasa, atau overcharging. Bahkan laporan perwakilan kita di Taiwan banyak yang sampai 100% dikenakan bunganya," kata Sekretaris Utama BP2MI Tatang Budie Utama Razak dalam rapat dengan Komisi IX.
Namun pemberian KUR itu juga ternyata masih menjadi kendala di lapangan.
Salah satunya karena belum adanya keputusan tentang komponen biaya penempatan
itu sendiri.
Kemudian hingga saat ini belum ada aturan batasan kurs. Sehingga terkadang
para PMI harus membayar kewajibannya dalam mata uang negara dia bekerja,
sementara mereka meminjam dalam bentuk rupiah.
"Jadi mereka meminjam di rupiah harus membayar di mata uang setempat. Sehingga penetapan kurs ini sangat tergantung pada institusi keuangan di negara tersebut dan di Indonesia," terang Tatang.
Permasalahan lainnya pembayaran gaji dari PMI belum diberikan langsung ke
rekening PMI. Sehingga pengguna jasa PMI atau agen penyalur di negara setempat
memotong langsung pinjaman untuk biaya penempatan tersebut dari gaji mereka.
Parahnya lagi masih sering terjadi praktik overcharging bermodus tunai.
Jadi PMI menandatangani perjanjian pinjaman untuk biaya penempatan dengan
syarat tunai.
"Kami pernah ke Taiwan menemukan overcharging yang sangat luar biasa,
akhirnya kita selesaikan. Kita kenakan sanksi ke P3MI (Perusahaan Penempatan
Pekerja Migran Indonesia)," tambah Tatang.
Tatang menegaskan pemberian KUR untuk mengurangi beban biaya penempatan
terhadap PMI itu juga sebenarnya untuk menghindari praktik overcharging atau
pengenaan biaya yang berlebih terhadap PMI.
"KUR ini untuk menghindari overcharging atau eksploitasi dari praktik-praktik rente yang selama ini terjadi. Oleh karena itu kita harapkan apabila nanti sistem dan mekanismenya sudah berjalan dengan baik, maka CPMI yang sudah berproses sesuai prosedur dan lewat sistem BP2MI mereka akan dikoneksikan dengan institusi keuangan penyalur KUR," terangnya.
Dengan sistem tersebut, menurut Tatang juga akan lebih terbuka untuk
penyaluran KUR kepada PMI. Akan tertera juga hak dan tanggung jawab dari PMI
selaku penerima KUR, termasuk juga bunganya. Sehingga tidak ada praktik
overcharging yang dilakukan oknum pemburu rente.
BP2MI sendiri kata Tatang selama ini tidak bisa memonitor pelaksanaan KUR
untuk PMI. Mereka hanya mendapatkan data total penyaluran KUR-nya saja.
"Karena P3MI yang menangani dan menguasai praktik ini. Kita harapkan
dengan adanya KUR, maka ini bisa memutuskan mata rantai dari praktik rente yang
merugikan PMI dan keluarganya," tutupnya.
Post a Comment