Cerita Sukses UMKM Wanita di Surabaya, Bangun Komunitas Usaha "Kampung Kue" Beromzet Puluhan Juta
Liputan6.com, Surabaya - Kesuksesan tidak pernah mengenal latar belakang. Setiap orang berhak untuk meraih kesuksesan sepanjang mau bekerja keras dan berusaha. Hal itu juga yang diyakini Choirul Mahpuduah (53 tahun), yang sukses membangun komunitas usaha “Kampung Kue” di Surabaya, Jawa Timur.
Kerja keras dan keinginan untuk berubah telah membawanya menjadi pebisnis sukses. Sebelumnya, Mahpuduah pernah bekerja sebagai buruh pabrik. Namun, usai kena PHK dia memilih untuk mendirikan komunitas usaha perempuan di kampungnya
Di dalam komunitas ini terdapat beberapa unit
usaha termasuk usaha kue milik Mahpuduah. Dia menyebut “Kampung Kue” merupakan
paguyuban yang anggotanya terdiri dari 63 orang pengusaha kue.
“Kampung Kue saya gagas mulai tahun 2005. Saya
melihat tahun 2005 itu banyak ibu-ibu di kampung saya kalau pagi-pagi sudah
menganggur atau merumpi tidak melakukan kegiatan yang produktif. Kalau siang
sebagian dari mereka dikejar-kejar rentenir,” kata Mahpuduah, kepada Liputan6.com.
Dari situ dia berpikir, untuk membuat
komunitas “Kampung Kue” di Rungkut Lor Gang 2 RT 04 RW 05 Kelurahan Kalirungkut
Kecamatan Rungkut Kota Surabaya, agar ibu-ibu di sana menjadi produktif.
Sebelum mendirikan komunitas, perempuan
berusia 53 tahun ini terlebih dahulu melakukan pengamatan kecil-kecilan. Warga
setempat pada tahun 1970-an dikenal sebagai produsen pakaian dalam laki-laki
dan perempuan.
Kemudian, ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2
sebagian ada yang memproduksi kue. Tapi saat itu tidak terlalu berdampak besar
apalagi dampaknya terhadap masyarakat lingkungan sekitar.
Akhirnya Mahpuduah, mencoba mengembangkan
potensi yang pertama yaitu mengembalikan kejayaan Rungkut Lor Gang 2 dengan
membuka usaha sulam pita. Tapi, usaha itu tidak berpengaruh besar terhadap
perekonomian ibu-ibu.
“Ternyata tidak menjawab keinginan saya, waktu
itu saya bilang ke ibu-ibu kita memiliki kegiatan yang cepat menghasilkan uang
yang halal untuk makan dan bantu perekonomian keluarga. Akhirnya saya beralih
dengan potensi kedua, saya berkunjung ke rumahnya ibu-ibu untuk mendiskusikan
untuk mengkomunikasikan keinginan saya. Karena pada saat itu saya kalau
berpikir satu kampung membuat kue semua ini luar biasa,” ungkapnya.
Menurutnya, dengan membangun komunitas usaha
bisa mengangkat martabat perempuan menjadi pribadi yang produktif, khususnya
bagi ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 yang sebelumnya menganggur.
Meski diakui, masih ada sebagian ibu-ibu yang
menolak pendirian komunitas, namun dia menganggap hal itu lumrah.
Berbekal tekad yang kuat, akhirnya pada tahun
2005 resmi berdiri komunitas “Kampung Kue” yang didalamnya terdiri dari 63
pengusaha kue, baik kue basah dan kering.
“Saya tetap fokus bahwa Insya Allah apa
yang saya gagas ini akan berujung. Dari situ saya mengajak ibu-ibu pelatihan
bikin kue sebisa saya. Kemudian lama-kelamaan kita punya jaringan dengan
LSM-LSM perempuan, serikat buruh dan dinas-dinas dengan perusahaan perusahaan
swasta, BUMN, universitas dan para mahasiswa yang akhirnya membuat nama kampung
kue semakin dikenal,” ujarnya.
Bermodal Rp 150 Ribu
Saat awal mendirikan komunitas Kampung Kue,
dihadapkan dengan kesulitan pembiayaan. Saat itu, semua pendanaan masih keluar
dari kantong pribadi Mahpuduah. Kemudian, dia sadar bahwa diperlukan urunan
dana dari anggota.
Terkumpulah dana sebanyak Rp 150 ribu yang
berasal dari 3 orang anggota komunitas Kampung Kue. Dana tersebut digunakan
untuk simpan pinjam anggota jika memerlukan dana untuk membuat kue.
Seiring berjalannya waktu, anggota komunitas
terus bertambah, dari 10 orang menjadi 15 orang, seterusnya hingga kini ada 63
orang.
Setiap anggota diarahkan untuk memiliki
simpanan pokok Rp 50 ribu dan simpanan sukarela disesuaikan dengan kemampuan
anggota, sementara simpanan wajibnya Rp 10 ribu per bulan.
“Saat pertama kali berdiri komunitasnya
kesulitan dalam pendanaan. Tapi setelah semua perusahaan swasta BUMN pemerintah
akademisi mengenal kampung kue sehingga untuk akses permodalan pun lebih mudah
misalnya ke BRI,” ujarnya
Omzet
Para ibu-ibu di komunitas Kampung Kue di Surabaya, Jawa Timur.
Untuk
omzet sendiri, sebelum pandemi perputaran uang per hari dalam komunitas Kampung
Kue mampu mencapai Rp 20 juta per hari. Namun, ketika pandemi hanya 10
persennya.
Sekitar bulan Juli tahun 2021
ekonomi semakin membaik, akhirnya di tahun 2022 ini Kampung Kue bisa bangkit
kembali.
Mahpuduah menjelaskan, memang
penghasilan setiap anggota berbeda-beda karena pengelolaannya diserahkan ke
masing-masing individu.
Tapi dengan banyaknya jumlah
anggota, dan karakter bisnisnya ibu-ibu itu berbeda-beda, ada yang
mempekerjakan karyawan bahkan ada juga yang masih memanfaatkan anggota
keluarganya masing-masing untuk membantu membuat kue.
“Saya sendiri mempekerjakan 5
orang, saya dan suami. Namun ketika pandemi mereka berhenti, tapi satu orang
saya panggil lagi, sisanya mereka sudah kerja ditempat lain. Kendati setiap
anggota memiliki usaha kue masing-masing, luar biasanya komunitas “Kampung Kue”
ini menerapkan sistem kolaborasi. Jadi siapapun bisa menerima orderan, makannya
mereka dapat orderan saya juga senang. Ini sistem kolaborasi yang kita kembangkan
agar mereka bisa menjaga mutu sendiri-sendiri,” imbuhnya.
Produk kue yang dihasilkan
komunitasnya dibagi menjadi dua jenis yaitu kue basah dan kue kering. Untuk Kue
basah ada dadar mawar, pisang coklat, dadar gulung, lumpur, pandan fla, puding,
onde-onde, muffin.
Adapula apem, terang bulan,
pastel, risoles, pie susu, pie apel, pie susu keju, donat dan masih banyak
lainnya.
Sementara, produk kue kering
terdiri dari Almond Crispy, kacang, dan Cheese stick. Untuk harga, Kampung Kue
mematok di kisaran Rp 1.500 – Rp 4.500 untuk kue basah. Sementara kue kering
mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 70.000.
“Ada Kue-kue basah tetapi ada
juga kue-kue kering yang dihasilkan di kampung kue, dan bisa menjadi oleh-oleh
khas Surabaya misalnya almond crispy yang saya produksi itu sudah bisa dijual
bisa menembus pasar Singapura melalui Bank Indonesia,” katanya.
Sebab kue kering itu sifatnya
tahan lama dibanding kue basah, sehingga penjualannya bisa sampai ke luar
negeri, dan penjualannya hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Seperti ke
Jakarta, Kalimantan, Bogor, Batam, Mataram, dan Bali.
Tak hanya penjualan offline,
komunitas Kampung Kue juga menjual berbagai produknya secara online, baik
melalui media sosial seperti facebook, Instagram, dan WhatsApp. Anggota
komunitas juga sudah mengikuti kelas-kelas digital marketing.
“Jadi, untuk digital marketing
bukan hal yang baru lagi bagi saya. Saya kemarin juga sempat jual lewat gofood,
cuman kurang produktif. Jadi perlu diperbaiki lagi (manajemennya),” ujarnya.
Disisi lain, pihaknya juga
memanfaatkan momen lebaran dengan memproduksi kue kering khas lebaran, seperti
kastengel, nastar, dan juga menerima jasa hampers bagi perusahaan-perusahaan
kecil yang skalanya tidak terlalu besar.
Bantuan CSR BRI
Mahpuduah
mengatakan, hampir semua anggota komunitas Kampung Kue adalah nasabah BRI.
Akhirnya begitu mantri BRI datang dan mereka tertarik dengan kegiatan Kampung
Kue, hingga memutuskan menyalurkan bantuan berupa sarana dan prasarana pada
tahun 2021.
“Seperti tenda, celemek, meja,
baju, topi, dan pameran-pameran kita diajak BRI untuk mempromosikan produk
Kampung Kue. Kami tidak dapat bantuan uang tidak, tapi sarana dan prasarana
dalam bentuk barang yang bisa kita manfaatkan,” ungkapnya.
Kata dia, pada 8 Februari 2022
kemarin Kampung Kue telah diresmikan oleh Wali Kota Surabaya sebagai Kampung
Wisata Kuliner, dan edukasi. Apa yang diberikan BRi sangat bermanfaat, karena
meja dan tendanya bisa dipakai untuk berjualan.
Sementara, untuk bantuan bentuk
uang lebih ke KUR. Para anggota komunitas Kampung Kue menjadi mudah mendapatkan
pinjaman dari BRI.
“Selama kita bekerjasama dengan banyak pihak kita tidak pernah dalam bentuk uang, tapi lebih ke sarana dan prasarana, dan pelatihan-pelatihan, digital marketing, food photography. BRI juga mengajak kita untuk ikut Bazar Ramadhan di Maspion Square. Menurut saya BRI sudah memudahkan ibu-ibu membuka usaha,” pungkasnya.
0 comments: